Selasa, 08 Desember 2009

Jelang Peringatan Hari Antikorupsi, RI 1 Panik!

Ada apa dengan peringatan Hari Antikorupsi? Ketika mahasiswa dan para elemen masyarakat bersiap meyambut untuk memperingati Hari Antikorupsi Sedunia yang jatuh pada tanggal 9 Desember besok dengan mengumpulkan ribuan massa dari Aceh sampai Papua di Monas, pemimpin bangsa ini malah panik ketakutan seakan punya dosa!

Seperti yang sudah banyak dibahas oleh media masa beberapa hari kebelakang dan sampai sekarang, peristiwa ini memang sedang marak-maraknya diperbincangkan. Presiden menuding bahwa gerakan aksi tersebut dinilai bernuansa politik yang bermaksud untuk menggulingkan dia dan pemerintahannya. ”Akal sehat saya mengatakan bahwa prilaku politik seperti ini paling tidak untuk jangka pendek ingin mendiskreditkan, ingin menggoyang dan kalau bisa menjatuhkan SBY dan pemerintahan” tutur SBY.

Sangat arogan ketika seorang pemimpin pemerintahan berkata seperti itu, apalagi tanpa didasari bukti yang konkret. Apa maksud dari perkataan tersebut? Bukankah jika ia memang pro terhadap pemberantasan korupsi, seharusnya dia beserta orang-orang nya mendukung bahhkan bergabung dalam aksi pada tanggal 9 nanti? Bukan malah berprasangka buruk terhadap gerakan aksi antikorupsi tersebut.

Aksi ini adalah acara besar yang diselenggarakan oleh para aktivis yang hanya bermaksud memperingati, dan aksi ini pun dijanjikan bakal berjalan damai sebagaimana mestinya tanpa adanya penunggangan dan tanpa ada kerusuhan, apalagi berniat menggulingkan presiden dari jabatannya.

Jika dipikir secara logis, tak seharusnya sang presiden curiga seperti itu kalau memang dia merasa telah benar-benar menjalankan pemerintahan dengan semestinya, untuk apa rakyat menggulingkan dia dan pemerintahannya kalau memang dia dan pemerintahannya sudah dengan benar menjalankan amanah yang tertera di dalam undang-undang. Atau malah sebaliknya? Pemikiran tersebut muncul karena selama ini ia tidak pernah menjalankan pemerintahan dengan benar dan SBY takut akan dilengserkan.


Disinggung masalah korupsi, Andi Mallarangeng, mantan juru bicara presiden yang kini menjabat sebagai salah satu menteri dalam pemerintahan SBY, berkata “selama 5 tahun SBY menjabat, pemerintah dengan gencar menangkap pelaku-pelaku korupsi”. Lalu bagaimana dengan Anggodo, bung? Kasus ini tak kunjung selesai juga, padahal Anggodo sudah jelas-jelas bersalah dengan bukti sadapan rekaman telpon yang dilakukan oleh KPK.

Sedikit banyak saya mulai curiga dengan kekhawatiran sang presiden, jangan-jangan selama ini memang ada sesuatu yang tidak diketahui rakyat awam negeri ini. Apakah berita yang beredar selama ini memang benar kalau masalah Century ada hubungannya dengan dana yang digunakan untuk kampanye partainya? Atau malah ada rahasia yang lebih besar dari talangan dana Century? Jika kecurigaan saya benar, gulingkan saja SBY!

Senin, 07 Desember 2009

Masalah Negeri

‘Demokrasi, rakyat memimpin ataukah uang?’ mungkin itu bukan hanya sebuah kutipan lirik lagu, tetapi fakta yang sampai saat ini masih kita rasakan di negeri kita sendiri, Indonesia.

Layakkah negeri ini disebut negara demokrasi ketika pemerintah tak lagi mementingkan kepentingan rakyatnya dan lebih mementingkan kepentingan pribadi , partai, dan golongannya? Bahkan sang pemimpin negeri saat inipun lebih cinta kepada orang asing daripada rakyatnya sendiri. Mereka rela melihat rakyat kelaparan demi kepentingannya. Lihatlah betapa sombongnya para pejabat kita dengan mobil mewahnya yang ber-plat merah, tak sadarkah apa yang mereka nikmati saat ini adalah hasil jeripayah rakyatnya? Namun apa balasan mereka terhadap kita? Hmm..yang jelas omong kosong jika mereka berkata ‘apa yang kita lakukan saat ini adalah semata untuk kepentingan rakyat, untuk mensejahterakan rakyat’. Sebenarnya yang sejahtera rakyat atau pejabat?

‘Wakil rakyat kok gak peduli dengan rakyat?’ Celetukan tersebut mungkin sudah sering terdengar oleh wakil rakyat kita di Senayan sana, tapi apakah mereka pernah menggubris celetukan tersebut? Sedikitpun mereka tidak pernah memperdulikannya. Mana janji – janji manis mereka dalam kampanye nya ketika mereka ingin duduk di kursi empuk nan nyaman di gedung DPR/MPR ?
Ini bukan lagi masalah baru bagi bangsa kita, para pendahulunya juga sama seperti mereka, sibuk sendiri dan tak pernah peduli dengan rakyatnya. Tapi ini bukan hal yang patut diberi kredibilitas “wajar”, budaya seperti ini harusnya kita kikis habis dan kita buang jauh – jauh dari negeri ini.

Pemilu telah berlalu, muncul wajah – wajah baru ditemani dengan wajah kawakan di Senayan sana hasil pilihan rakyat. Saya pikir dengan pencerahan disana akan ada perubahan untuk negeri ini, tapi nyatanya sama aja kaya yang dulu –dulu. Malah ini lebih parah, belum juga terlihat hasil kerjanya, mereka sudah minta naik gaji. Gaji yang sekarang masih kurang, Pak? Atau jangan – jangan uangnya buat nombokin utang yang numpuk bekas kampanye dulu? Saya teringat dengan sebuah potongan lagu milik Iwan Fals yang berbunyi ‘..wakil rakyat, seharusnya merakyat..’. Benar apa yang dikatakan oleh lagu tersebut, seharusnya orang – orang yang terpilih sebagai wakil kita lebih merakyat, bukan malah sombong karena jabatannya dan melupakan rakyat.

Sampai saat ini saya belum merasakan sedikitpun perubahan dari kinerja para wakil kita untuk kepentingan rakyatnya. Mungkin saat ini mereka masih sibuk menghitung pendapatan mereka ketika sudah menjabat sebagai wakil rakyat.

Mereka seakan menutup mata dengan realita yang dirasakan oleh rakyatnya. Ketika mereka dengan mudahnya menyantap makan – makan lezat di setiap waktu, ketika mereka tidur di tempat tidur yang nyaman, bepergian dengan kendaraan mewah. Tak pernahkah dibenak mereka muncul pikiran untuk memikirkan rakyatnya di luar sana masih banyak yang kelaparan, jangankan memakan makanan lezat, tidur di tempat tidur nyaman, bepergian dengan mobil mewah, untuk membeli sesuap nasi saja mereka harus susah payah bekerja, itupun mungkin mereka hanya makan 1 kali dalam sehari, masih banyak rakyatnya yang sampai saat ini jadi gelandangan karena tak punya tempat tinggal.

Negeri ini benar – benar sudah tidak nyaman lagi bagi kita yang notabennya rakyat biasa, namun berbanding terbalik dengan mereka - mereka yang memiliki banyak uang untuk menikmati hidup di negeri ini, tak terkecuali orang asing yang datang hanya untuk mengeruk habis kekayaan alam milik bangsa kita, negeri ini benar – benar terbuka lebar untuk siapa saja yang memiliki banyak uang, yang penting mah duitnya kuat!

Pemimpin kita entah tak peduli atau malah bangga saat melihat rakyatnya mejadi budak di negeri orang. Mungkin bangga, karena rakyat kita yang menjadi budak (TKW/TKI) disana mereka sebut sebagai pahlawan defisa. Tapi balasan apa yang ‘katanya’ pahlawan defisa terima dari pemerintah kita? Ketika disana mereka disiksa oleh majikannya, pemerintah tak pernah bergerak, yang mereka lakukan hanyalah berbica kosong tanpa sebuah pembuktian untuk melindungi sang pahlawan defisa negaranya.

Masalah pangan, bukankah negara kita adalah negara agraris yang memiliki sawah dan perkebunan yang subur dan melimpah ruah, tapi mengapa sampai saat ini masih ada rakyat yang meninggal karena mati kelaparan? mengapa masih ada rakyat yang memakan makanan basi dan semacamnya? Negara kita juga negara yang memiliki lautan luas yang kaya dengan ikan – ikan yang memiliki kandungan gizi tinggi, tapi mengapa masih ada rakyat yang kekurangan gizi?

Keadilan, pernahkah kalian merasa terlindungi dengan keadilan di negeri ini? Pasal – pasal tentang keadilan tidak pernah berlaku disini. Siapa yang punya uang, dia yang dilindungi, lalu bagaimana dengan yang tidak punya uang? Mereka tak pernah terlindungi. Hukum di negeri ini bagaikan jaring laba – laba yang hanya bisa menangkap binatang – binatang kecil seperti lalat, tapi ketika gajah yang lewat, jaring itu dapat dengan mudah dihancurkan.
Belum lagi masalah mafia peradilan yang sudah beranak - akar di negeri ini. Pernah dengar kasus seseorang yang mengabil sisa – sisa kapas yang sudah tidak berguna lagi ( sudah menjadi sampah ), ditahan karena dituduh mencuri? Masih ingat dengan kasus seorang nenek paruh baya yang karena hanya memetik tiga buah kakao untuk menyambung hidupnya kemudian diseret ke meja hijau, diadili tanpa seorang pengacara, kemudian ditahan kurang – lebih satu setengah bulan. Memang, nenek tersebut salah karena telah mengambil apa yang bukan hak nya., tapi bagaimana dengan pencuri uang rakyat atau yang lebih populer dikenal dengan sebutan koruptor? Tiga buah biji kakao tak ada apa - apa nya jika dibadingkan dengan jutaan , milyaran, bahkan triliyunan uang rakyat yang mereka curi. Hebatnya, sampai saat ini sebagian bahkan banyak diantara mereka yang belum tersentuh hukum dan masih bisa menghirup udara segar ditemani gelimang harta yang seharusnya menjadi milik kita.

Kasus yang masih hangat – hangatnya terjadi saat ini sudah cukup menjadi bukti betapa bobroknya hukum di negara ini, dimana sang ‘super’ Anggodo yang menjadi otak dari sebuah upaya besar untuk menggembosi lembaga pemberantas korupsi, KPK, yang jelas – jelas telah terbukti bersalah dengan berbagai macam bukti yang ada, masih bisa bebas berkeliaran kesana – kemari dengan alasan ini lah, itu lah dan yang jelas sangat tidak masuk akal, yang sangat disayangkan, berbagai macam alasan tersebut keluar dari mulut para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum, bukan malah merusak tatanan hukum. Kasusnya ternyata tidak hanya berhenti disitu. Setelah diusut, kasus Anggodo memiliki keterkaitan erat dengan kasus besar yang mungkin sedikit dilupakan oleh awak media, kasus Bank Century. Bank yang pada saat itu mulai collapse kemudian diberi suntikan dana yang cukup besar oleh Bank Indonesia dengan alasan untuk menyelamatkan bank tersebut dari kehancuran yang melibatkan orang nomor dua di Indonesia, Boediono. Namun alasan untuk menyelamatkan bank tersebut hanyalah alih – alih saja, isu yang beredar saat ini malah tambah parah, uang yang ‘katanya’ disalurkan untuk bank Century malah digunakan untuk kepentingan sebuah partai besar pemenang pemilu 2009 dalam kampanye nya.

Konflik daerah yang tiada habisnya

Konflik yang terjadi di Aceh antara TNI dan GAM memang sudah berakhir, tapi masih banyak berbagai macam konflik yang belum terselsaikan di negeri ini. Kini perhatian kita hendaknya tertuju ke tanah Papua. Daerah ini masih belum mendapat perhatian dan langkah penyelesaian konflik secara berarti yang dilakukan oleh pemerintah kita, meskipun sejak lama, dan hingga sekarang, konflik masih terus berlangsung disana. Konflik separasi di Papua telah berlangsung cukup lama, sejak Papua pertama kali bergabung secara resmi menjadi bagian dari Indonesia, tahun 1969. Terdapat kelompok-kelompok dan sejumlah tokoh masyarakat di Papua tidak mau bergabung, menginginkan Papua berdiri sebagai negara sendiri. Sebagian besar kelompok dan tokoh itu kemudian bergabung dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang hingga kini masih eksis dan terus berjuang, bahkan dengan kekerasan senjata dalam memperjuangkannya. Konflik separasi di Papua, dengan OPM sebagai motor penggerak utama, masih terus berlangsung hingga sekarang, belum mendapat penanganan perdamaian khusus dari pemerintah Indonesia. Sesudah tahun 1969 itu, pemerintah Orde Baru melancarkan pembangunan terpusat, atau tersentralisasi, yang dalam pelaksanaanya di Papua dilakukan sambil terus menerus mengawasi dan menekan konflik yang muncul, terutama terhadap OPM, seringkali disertai dengan kontak senjata. Pendekatan keamanan bersenjata ini terus dilakukan hingga akhir pemerintah Orde Baru, tahun 1998.

Selain itu, akibat sentralisasi pembangunan, atau gowth pole dan ekstraksi sumberdaya berlangsung selama ini, juga muncul konflik lain disebabkan kesenjangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi di masyarakat. Salah satu paling menonjol adalah konflik antara pendatang (migrant) dan penduduk asli Papua. Masalah ini menjadi bagian tersendiri dalam konflik yang berlangsung di Papua selama ini.

Masalah kesenjangan dan ketidakdilan, diakibatkan oleh sentralisasi pembangunan berlangsung selama ini, menambah bobot masalah konflik di Papua, bukan hanya terkait masalah separasi, atau kelompok OPM saja, tetapi juga terkait dengan masalah resistensi dan gerakan politik lain menuntut keadilan sosial ekonomi, yang tuntutannya sangat beragam di masyarakat Papua. Berkaitan dengan kelompok-kelompok ini, gerakan dan resistensi politik cukup beragam ini, kita juga penting mencermatinya untuk pembangunan perdamaian di Papua.

Saya sebagai seorang anak negeri menanti sebuah ketegasan pemerintah untuk dapat menyelesaikan masalah yang sebenarnya telah lama menyelimuti bangsa ini.